Selasa, 01 November 2016

Jatuh

Jatuh dalam Beranjak


Semenjak aku beranjak dan mengenal jarak, aku perlahan mengenal detak. Bunyinya yang sepi takut untuk terungkap, dan malu menyebutnya sebagai sesak. Penghalang bukan lagi sekat, melainkan ruang agar kita mudah untuk bergerak. Ya~ jarak ini ada untuk melepas semua ikatan kita yang seharusnya sudah lama binasa.

Jika bukan karena sengal nafas yang semakin lelah menderu, entah selama apa aku menahan rindu dalam kalbu. Padahal air mata pernah jatuh, tak tertahan menggelantung terjun pada kedalaman tebing pipimu. Meluncur bebas sampai ke pinggiran bibir, lalu dengan basah dan terbata, aku kembali menyebut namamu lagi dalam jarak dan ragu. Padahal saat itu aku yang lebih siap untuk berpisah denganmu.


Dalam tubuh kurusku yang rentan, aku pernah mengalami gempa dalam bayang hampa. Patahannya sempat terukir bersama rumit sungai arteri disamping nadi, menembus katup dan mencampur aduk sirkulasi perasaan yang tak sempat menyebut sebuah nama. Membekaskan sebuah luka, luka biasa dan yang tak kasat mata. Luka yang bisa disembuhkan oleh dokter mana saja, dan luka yang hanya bisa disembuhkan oleh waktu saja. Keduanya pernah hadir bersama.

Bila jemari tak beruas, tak mungkin aku ingin menemui untuk saling mengenggam denganmu. Sebab tangan tak tercipta sekedar hampa, dia ada untuk kita saling menggenggam menyatukan rasa. Namun ketika jarak telah melahirkan nama, beranjak adalah melahirkan rindu dan cinta, tak ada lagi yang bisa aku sabarkan pada debar kecuali kamu yang tegar menunggu rindu satu saling temu.

Mungkinlah dulu itu adalah keinginan temu yang sudah tak bisa lagi dihalang ragu. Seketika saja dada bergemuruh tak peduli pada jeda. Seketika darah menyerah mengalir dalam liuk, yang tak pernah mengerti tentang kita, kemana ia berujung menemui denyut muaranya. Ah~ andai saja temu tak perlu harus berujung pisah yang pilu, aku cukup saja menjadi darah dalam tubuhmu. Hanya sebatas menjadi darah yang dapat memperhatikanmu tanpa pernah peduli kapan kau merasakanku. Aku adalah darahmu, dan kau adalah aku yang menjelma menjadi rindu.


Selama ini aku adalah jarak dalam hembus napasmu. Mengudara menemui lentera jingga, menyalakan bianglala yang hendak bersua, di penghujung langit, di matahari yang tertelan bulan, di tempat ajal menjelma sinyal kepada mata yang tak pernah siap melepas pengeja senja di akhir waktunya.

Semenjak aku beranjak, aku perlahan mengerti arah gelisah menuntun langkah. Aku menjejak diantara gelap rongga dermaga yang hampa. Semenjak aku beranjak, aku pun semakin kuat untuk berjalan diatas kenyataan bahwa hidup tak pernah lepas dari pisah. Kau adalah detak, kepergianmu adalah kehilangan detak. Dan nisan, adalah tempat semayamku menunggumu kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar