Aku tak tau cara untuk mengatakannya, aku tak tau lagi cara untuk mengungkapkannya, mungkin hanya melalui tulisan ini sebagai media, maksudku akan tersampai padamu.
Kutuliskan kenangan tentang caraku menemukan jalanku, tentang apa yang membuatku mudah berpindah dari hatimu, tentang "boku no kokoro no shinjitsu" yang semoga dapat mencapaimu, akankah sungguh bisa mencapaimu? Aku tak tahu, tapi semoga saja, itu cukup mampu.
Aku pernah cemburu pada sebuah kertas yang tahu isi perasaanmu. Setidaknya ia lebih kau percaya daripada aku.
Aku pernah cemburu pada sebuah kertas yang tahu isi perasaanmu. Setidaknya ia lebih kau percaya daripada aku.
Aku pernah cemburu pada 140 karakter yang hanya bisa kau tafsir sendiri.
Aku pernah cemburu pada berbagai cerita di sebuah tempat yang aku tak ada di sana.
Aku pernah cemburu pada berbagai cerita di sebuah tempat yang aku tak ada di sana.
Aku pernah cemburu pada bingkai foto yang melukis tawa lepasmu ... sekali lagi, tanpa aku.
Aku juga pernah cemburu pada selarik bait yang kau tulis diam-diam di samping gambar-gambarmu. Terlebih pada gambar-gambarmu, aku bahkan sangat cemburu.
Aku juga pernah sedemikian cemburu pada… ah, aku bahkan menggigil untuk menulisnya. Tapi kemudian aku diam, mengapa aku harus cemburu? Dan aku tertunduk menerka-nerka cerita. Melarikkan rasa di atas dawai-dawai panjang pada jemariku, memainkan nada melepas habis semua, atau memainkan permainan pada pc-ku, karena aku tidak bisa menggambar sepertimu.
Hey, apa kamu juga pernah cemburu pada dawai-dawai atau permainan ini?
Aku pernah tersenyum menyaksikan tawa mereka melebur dalam tawamu. Aku bahkan pernah ingin menjadi mereka, agar tak perlu ada kekakuan saat tiba-tiba kita harus sekadar saling bersapa “Apa kabar?” tanpa temu. Aku juga pernah ingin menjadi angin yang menjadi perantara di setiap bisikmu atau menjadi udara yang menguapkan keluhmu. Aku sangat ingin memonopolimu, karena aku sangat mencintaimu saat itu.
Hey, apa pernah sekalipun semuanya kamu tahu?
Kemarin saat kamu bilang akan pergi jauh, aku sangat takut. Ada semacam perih dalam hati yang memaksa mataku berair. Pipiku becek. Sayang~ air mataku, sederas atau sebanyak apapun mengalir, dia takkan punya daya untuk menahanmu tetap disini.
Maka detik itu aku pura-pura tersenyum, kukira itu akan membuatku lebih baik. Tapi di detik selanjutnya aku menyadari bahwa tersenyum sama sekali tak melegakan. Bila kau mengerti, dalam senyum yang kubuat-buat itu sebenarnya hatiku berdo’a:
“Tuhan, tak bisakah Kau lewatkan aku dari cerita tentang keterpisahan ini?”
Belum sempat kudengar jawaban dari-Nya, lantas kususul dengan doa-doa senada:
”Tak bisakah waktu Kau putar lebih cepat sampai ia kembali?” , “Tak bisakah untuk kali ini saja, anugerahi hambamu ini kemampuan untuk memperbudak waktu?”
Entahlah, semoga saja dari sekian doa yang kuucap, Tuhan mungkin mengabulkan paling tidak satu saja. Demi menghibur satu dari sekian miliar hamba yang lebih dari sekadar layak untuk mendapat belas kasihan-Nya.
Menjauh untuk menjaga.
Kau tahu, sejujurnya aku benci konsep itu. Terlalu menyedihkan. Seperti perumpamaan klasik tentang matahari yang mencintai bumi dengan jaraknya. Terdengar tegar dan dewasa memang, tapi tetap saja menyedihkan. Aku mulai mengira, barangkali analogi itu cuma pembenaran teoritis atas tragedi ketidakmampuan mencintai dengan alasan apapun. Atau boleh jadi semacam legitimasi bagi sebuah kerapuhan jiwa. Pecundang yang kalah lalu menyerah tanpa usaha pada hasil yang tak mampu diterima.
Apa yang bisa diharapkan, dari cinta yang bahkan oleh himpitan jarak saja ia jadi tak berdaya? Apa yang bisa dibanggakan, dari cinta yang dengan segala macam pembenarannya saja menyerah pada keterpisahan, pasrah pada ketakberdayaan, sementara seluruh penjuru dunia selalu memuja kedigdayaannya dengan kalimat ‘Amour Vincit Omnia’ (cinta mampu mengalahkan segalanya) ? Apa yang tersisa dari menyerah tanpa berusaha? Cih, kata frasa yang menguatkan dan menenangkan para pemuja cinta, tapi bagiku hanyalah BUALAN belaka.
Kalau saja matahari, memang mencintai bumi, dengan abadinya keberjarakan yang ditakdirkan pada mereka, mestinya telah redam bara yang ia punya. Terendam oleh air matanya sendiri. Seperti Qais yang cintanya tak pernah sampai pada Laila, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menangis. Lalu gila, sebelum akhirnya mati dalam keterpurukan yang hina.
Ya, tak pernah ada cinta nyata yang seperti untuk Gray dari Juvia dalam realita. Bahkan dalam romansa film 5cm/sec atau manga bokura ga ita, dimana mereka saling suka, dengan membangun kekuatan momen indah bersama, yang dikira mampu selalu menjanji masa, sekali lagi jarak mengalahkan keduanya, terpisah tanpa daya.
Kau tahu sebuah cerita di era arab lama? Pangeran putra mahkota dari Baginda Raja Harun Al-Rasyid pernah jatuh sakit, sekarat, dan hampir mati. Seluruh tabib di negeri itu dipanggil, bahkan dari semua negara tetangga, sayang tak semua dari tabib itu tahu apa nama penyakitnya dan cara mengobatinya. Apa kau tahu apa sakitnya itu? Itu adalah cinta. Ia menahan rasa cinta pada seorang wanita dari golongan rakyat biasa, karena takut Ayahandanya tak merestui mereka. Sama seperti kisah putri amazon lilly sebelum Hancock, ia mati karena jatuh hati. Tak mampu bertemu karena sang kekasih pria mati ketika berlayar pergi.
Begitulah cinta, kadang dengan jumlahnya yang begitu besar, namun tak tersampaikan, mampu membawanya pada rasa sakit bak kematian.
Apakah harus selalu begitu, benturan antara rasa dengan realitas rindu, yang beda rupa dan kasta akan selalu berakhir mencipta luka?
Menjauh untuk menjaga. Lagi, kudengar dan kubaca untuk yang kesekian kali.
Kukira cinta itu buta, mati rasa, juga tuli, tak pernah mau mengerti situasi. Bohong jika mereka berkata cinta tak harus bersama. Dusta saat mengaku bahwa melihat senyum terpasang yang bukan karenanya adalah bahagia. Bualan bahwa rela melepaskan adalah pembuktian cinta yang terdalam sebenarnya.
Cinta itu egois, yang selalu ingin untuk bersatu. Cinta itu bengis, yang selalu memaksa supaya bersama. Semua kebahagiaan harus diraih berdua atas nama cinta.
Adakah seorang Ibu rela menitipkan anaknya pada orang lain yang lebih kaya dan mapan berpendidikan agar sang anak tersebut bahagia? Yang meskipun dengan segala daya dan upaya takkan mampu menyamai atau mendekati kemampuan mereka (orang lain itu) dalam membahagiakan? Kuyakin tidak. Padahal cinta dan kasih sayang Ibu adalah yang terbaik sepanjang masa. Ia bahkan takkan rela menjauh dan melepas dengan ikhlas kepergian anaknya.
Cinta, seburuk atau sejahat apapun, ia yang kau cinta, pasti akan termaafkan. Sekali lagi seperti seorang Ibu yang bahkan melahirkan anak terdurhaka, takkan pernah mampu untuk membencinya. Ia pasti akan berusaha, dengan segala cara untuk merubahnya menjadi lebih baik. Minimal mau untuk menghargai hanya pada dirinya.
Sampai pada baris tulisanku yang kesekian ini, aku masih belum bisa menerima konsep itu. Seperti konsep ‘rela menunggu atau rela melepas atau rela menjauh untuk kebahagiaan’. Bukankah mencintai dan menerima untuk dicintai berarti kalian sudah bersumpah berani untuk menerima hal terburuk dari sisi lain yang belum diketahui nanti? Jika tidak, jangan pernah mencinta atau menerima cinta! Hati bukan tempat untuk mencari dan bermain-main menempa cinta! Lagi-lagi, entahlah. Aku frustasi. Barangkali karena aku terlalu merindukanmu, hingga aku tak rela menunggu. Terlebih lagi, membuatmu menunggu.
Tapi, lama aku mematut diri, untuk saat ini, aku ingin menjadi bagian dari doamu saja, tapi semua tetap pergi, juga kamu. Kesalahanku adalah tak pernah merasa bahwa untukku kau tak pernah punya cinta. Aku tersadar tapi aku bahagia. Ya aku bahagia. Inilah melepaskan, sebenar-benar melepaskan, mungkin saja.
Kesalahanku, tak pernah mencintai selain dirimu. Aku pernah merengek bak bayi yang meminta tolong ajari aku agar semangatku tak berlipat saat tahu mimpiku masih kau ingat, atau beritahu aku rahasia agar aku tak menangis ketika teringat kamu pernah memukul semua semangatku. Ajari aku untuk tidak tersenyum saat teringat setap jengkal kenangan kita bersama, atau beritahu aku rahasia agar aku tak bersedih ketika sadar bahwa kenangan itu tak boleh pernah ada. Ajari aku untuk tahu diri, atau beritahu aku rahasia agar bisa bertahan berpura-pura.
Kesalahanku, isi do'aku tak pernah selain namamu, hingga Ia cemburu. Sungguh lalu aku tak berhenti berdo'a untuk sebuah kerelaan ini, sungguh aku tak pernah lelah berharap saja hanya pada sang pemilik hati, sungguh aku bahkan telah memangkas semua harapan yang pernah terjadi, sungguh aku telah berupaya untuk tahu diri.
Kesalahanku, tak pernah memprediksi bahwa kau mungkin bisa pergi. Haruskah aku tulis sebuah sajak sebagai penanda dramatis bahwa cerita tentang keterpisahan ini akan pernah ada? Haruskah ada puisi atau elegi yang mendayu-dayu sebagai prasasti yang kelak akan kita kenang dan tangisi, bahwa dulu kamu dan aku pernah mengalami tragedi perpisahan disini?
Kesalahanku, menjadikanmu alasan dari semua rindu. Kusadari seringkali kita menangisi dan mengenang orang yang pergi, namun disaat yang sama kita sulit menerima dan menghargai orang yang datang, atau bahkan yang sedang bersama kita. Seorang Guru mengaji yang aku hormati pernah menasehati:
"Genggam erat orang yang engkau cintai. Ungkapkan rasa cintamu pada mereka. Maafkanlah setiap kesalahan mereka, karena boleh jadi suatu hari nanti engkau atau mereka pergi sementara di dalam hati ada cerita dan rindu pada mereka. Diskusikan, perbaiki, jelaskan, dan akui setiap salah. Hidup ini sangat pendek, tak layak dilalui dengan dengki dan hasad. Esok kita akan menjadi kenangan saja, kematian tak akan meminta izin, karena itu~ tersenyumlah~ dan maafkan semua yang pernah menyakitimu. Dengan begitu hilanglah semua beban hatimu."
Munkin karena itu, kini aku tak lagi berharap padamu, seperti itu, ya~ tiba-tiba saja begitu, juga setelah terlewat sekian banyak sujud panjang pada sajadah 1/3 malamku.
Ada yang bilang bahwa waktu itu takkan berlalu, dan aku takkan pernah bisa lepas darimu, karena apa yang telah kita lewati bersama dulu. Dulu, ya mungkin dulu, aku berpikir demikian, aku tak bisa rasanya, aku tak sanggup tanpamu, tak bisa lepas darimu. Tapi, kini, aku menyanggupi melakukan semua yang kurasa tak mampu tentang semua hal tanpamu. Jika diminta untuk meninggalkan, melupakan, menjauh, aku akan berusaha kuat untuk melakukan tanpa keraguan. Seberapapun rasaku pernah ada untukmu, kupilih 'ku sanggupi melepasmu menjemput seseorang yang menjadi takdirmu.
Kelak jika waktu merestui perjumpaan kita, aku yakin sekadar terka pun tak mampu menjawab tanya. Itu urusan-Nya. Aku bahagia seperti ini. Jadi aku yang dulu, lagi. Yang menyimpan rindu diam-diam. Bukan juga padamu. Entah, hati ini adalah rangkaian cerita yang ingin kusembunyikan. Aku kini bahagia. Semoga kamu juga.
Jika nanti kamu menemukan tulisan-tulisan ini, kamu akan tahu semua detail rasa yang pernah ada. Yang kusembunyikan di ruang-ruang ini. Yang tadinya kukunci rapat untuk bersembunyi, tapi tidak lagi, setelah pintamu yang dulu, kini kumengerti.
Jika nanti kamu menemukan tulisan-tulisan ini, kamu akan tahu semua detail rasa yang pernah ada. Yang kusembunyikan di ruang-ruang ini. Yang tadinya kukunci rapat untuk bersembunyi, tapi tidak lagi, setelah pintamu yang dulu, kini kumengerti.
Hari ini, aku memanggil namamu lagi disini, tapi bukan berarti ingin cerita ini seperti dulu. Kalaupun tentang kita masih berkesempatan menjadi cerita, sudah kubilang, ia akan ada jika hanya disertai keberanian dan tanggung jawab, mengungkap semua rahasia. Bukan lagi tentang untuk apa dan siapa, hanya berani berserah pada aturan dan ketentuan-Nya. Bukankah memilih jalan hidup terberat akan menghasilkan suatu akhir kenangan yang terindah juga?
Ah ya, teman-teman dan keluarga kerap menanyakanmu, sementara aku tak berani sekadar cari tahu tentangmu. Walau hanya sekedar "Apa kabar?" karena mereka sudah tahu banyak tentangmu. Merepotkan bukan? Itu sungguh menganggu.
Kini aku sudah beranjak, sungguh sesungguh-sungguhnya beranjak, beralih ke cinta dalam diam, pada kesendirian, tanpa sentuhan haram, pada kerinduan dalam do'a-do'a malam, demi kesucian cinta yang terpendam. Aku hanya akan merindu pada diamku. Merindu tanpa pernah pamit kepada siapa yang aku rindu. Sekali lagi, bukan juga padanya atau mu, hanya sekedar merindu.
Beberapa temanku mungkin akan membencimu tapi tenang saja, tidak denganku. Bila ada salah satu atau banyak dari mereka yang berbuat jahat padamu itu bukan maumu juga mauku, jadi jangan salahkan mereka ataupun aku. Jadikan saja pelajaran agar kau tidak lagi salah memilih kawan ataupun lawan di masa depan.
Banyak hal yang sebenarnya lebih ingin kusampaikan. tapi mungkin tulisan ini sudah cukup untuk mewakilkan. Kamu pasti akan mengakatan bahwa aku cerewet jika terlalu banyak berkata bukan? Sebenarnya aku hanya ingin membuatmu mengerti, karena aku paham betul kau sulit untuk mengerti, terutama untuk mengerti aku yang sekarang disini, karena dari awal jumpa kita, hatimu tak pernah terbuka dan mecinta, walau hanya sesaat untuk insan ini. Aku tahu. :)
Eto~ tak usah kau hiraukan kicauanku ini jika tak berkenan, aku tak bermaksud untuk kembali. Hanya ingin sekedar memberi, bahwa aku kini sudah ikhlas kita telah terpisah, dan pergi. Seperti kataku dulu padamu, perasaanmu adalah milikmu, persaanku adalah milikku, biarkan tetap seperti itu, cukup hanya diri dan Tuhan yang tahu. Semoga apa yang aku cerita disini mampu menggapaimu, sebagai bentuk terima kasihku, telah hadir dan mendewasakanku. Terima kasih, dan selamat tinggal~
👍👍
BalasHapus