Jumat, 16 September 2016

Risau


Aku risau pada hujan panjang yang datang tidak pada langitnya. Sebab ada tanah merah yang tak kunjung siap kembali basah. Pikirnya segala sesuatu tentulah datang dengan sebuah tanda pisah. Seperti aku kini, risau pada seseorang yang datang tidak pada waktunya. Sebab ada hati yang tak kunjung siap kembali merasa. Pikirnya seseorang tentulah datang dengan sebuah tanda kecewa.

Aku mendesau, melihat bangau yang mengepakkan sayapnya dan mengagetkan ikan di tengah tenangnya danau. Seperti aku yang mendesau pada senyum di wajahmu yang mengagetkanku pada tenangnya lamunan payau. Lalu kuikutkan sebuah tanya padanya, "Batinku, bisakah engkau datang ketika keadaan sudah arif menerimaku?" Sungguh tak semestinya matamu yang alum datang pada kelopak mataku yang kosong terusir masa lalu. Karena keadaan ini sungguh belum tepat waktu.

Aku berpikir, awalnya engkau hanya sekedar hadir ketika perasanku masih lembab diremas nadir, dan tak pernah menerka segala yang sumir, namun ini mungkin bisa menjadi takdir. Seperti aku yang tak pernah habis pikir, mengapa engkau selalu hadir kepada diriku ketika merasa ternyinyir dan tersingkir? Walau hanya dengan senyummu yang bersambung dengan sapamu, itu cukup mampu menenangkanku barang sekejap. Sayang, bibirku masih ragu untuk membuka kata. Selalu saja aku membisu, hingga akhirnya kau 'pun berlalu.

Dan diantara doa-doa terhantarkan, wajahmu terangkum pada luas tanganku, menjelma ketakutan pada kenangan. Seperti kisah-kisahku yang telah lalu, aku tak ingin mengulang pada kegagalan, karena hatiku belum cukup sampai pada kesiapan. Lalu ruas jemari menari-nari tayangkan hari-hari yang telah kulewati sebelum ini, yang terlewatkan. Kembali berharap lagi bahwa kisah pilu takkan terulang lagi.  Padahal masih ada do'a yang masih terpanjat entah berujung kemana dan pada siapa.


Ada harapan yang mesti dirawat, disiram dengan do'a hangat, agar ia tumbuh merambat dengan sehat dan cepat. Membesar mengikuti pagar yang dengan sabar menjaga dari desah dan hela nafas yang panjang. Begitulah pohon merambat mengajarkanku melihat alirah darah yang menyempit di bulat wajahmu. Mengajariku untuk diam dan kuat melihatmu tumbuh, hanya sesekali memaksamu untuk menuju jalur tumbuh yang lurus agar kau tinggi dan tidak mudah roboh. Dan selalu ada sebagai teman bersandar ketika angin badai datang meniupmu kencang.

Seperti ombak dan riak hanya ingin bergerak, tanpa peduli pada perahu yang kita arak, dan layar dibentangkan angin kepada siapa yang layak. Seperti itu pula aku hanyut dalam kuasamu. Lalu angin yang dingin itu membekukan banyaknya ingin. Seperti burung pelikan hitam berkepakkan, dia datang untuk mengarahkan. Kemana sebaiknya perahu risau ini menuju.

Tak semestinya pada kesepian aku kalah, lalu jatuh dalam gelisah, sebab kenangan tak akan jatuh pada pelupuk mata yang salah. Dan tak semestinya aku sakit pada masa lalu yang bangkit, sebab ingatan tak akan jatuh pada diri yang dignit(y). Ingatlah bahwa tanah tak pernah bisa mengelak kemana kaki melangkah, sebab perjalan telah memberikan banyak hadiah. Seperti bahwa hidup kita yang tak pernah bisa mengelak pada takdir, sebab perjalanan kita telah lama terukir. Cukuplah berbaik sangka kepada Sang Maha Baik nan Sang Maha Pengatur, pastilah  pada kebaikan engkau diberi dan diatur 'kan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar