Sabtu, 31 Desember 2016

Pita Ungu

Pita Ungu, Hadiahku yang Kau Simpan Selalu.

Jum'at siang itu aku merasa begitu bosan, semua teman sibuk dengan urusan mereka masing-masing.  Aku hanya diam terpaku pada layar komputerku. Membaca manga, browsing, dan memutar film tak mampu memuaskan penatku. Sedang batang-batang yang mengabu yang aku gengam ini 'pun tak bisa memuaskan rasa sepi ini sendiri. Kuputuskan untuk beranjak pergi ke kota seberang untuk mengganti suasana hati.

Kota x, berjarak sekitar 20km dari tempat dimana sekarang aku tinggal. Mungkin karena suasana yang terkesan lebih ramai dan rapi dibanding kota dimana aku tinggal. Tapi aneh, memang ada keseruan tersendiri setiap kali aku datang ke kota ini. Setidaknya taman kota disini mampu untuk sekedar menutup rasa penat  dan bosanku. Selalu saja berhasil membuatku merasa bebas begitu.

(Cerita Bersambung) ... .

Ending
||
v

Lama aku berjalan pada rumah-rumah mini ini, melihat kesana-kemari, pada papan-papan nama yang tertera, tak jua namamu aku jumpa. Walau disana belum tertera sebuah nama, tapi sungguh aku dapat mengenalnya. Dan dari semua tempat sepi ini, akhirnya aku menemukanmu. Pada sudut gelap dibawah pohon rindang, sebuah batu nisan berhias pita gelap berwarna ungu, yang sangat aku kenali sedari dulu. Walau terlihat lusuh kumuh karena mungkin terkena hujan terik, tapi aku masih jelas mengenal pita itu.

Pita yang dulu selalu mengikat rambut panjang indahmu. Yang dulu kau minta sambil merengek manja padaku. Yang selalu engkau kenakan pada foto yang kau unggah pada sosial mediamu. Yang selalu kau tunjukkan padaku betapa berhaganya itu bagimu, kini menjadi penghias tempat istirahat terakhirmu.

Kita telah bertemu dalam kurun waktu tiga kali sebelum ini. Tapi tak pernah aku sangka pertemuan kita kali ini terjatuh pada situasi dan kondisi saat ini. Tak pernah aku menyangka bahwa temu akhir kita harus kembali berujung air mata bak ilusi hampa sunyi.
Sayonara, Juliana Ivany~  
Tada, aikawarazu kono basho de hanashite bokura ga iru. 
Boku no kokoro wa zettai ni anata ga iru. 
Zutto zutto zettai ni iru.
Kau yang dulu menggapkan keseriusan rasa ini sebagai canda, mungkin kini akan mengerti lewat tangis di depan rumah barumu, yang kini jatuh begitu saja. Mungkin kau tahu bahwa aku masih sulit untuk menerima kenyataan yang ada. Aku hanya mampu untuk mendo'akan ketenanganmu di alam sana, mengenang manis senyummu yang kini tinggal ingatan saja. Tapi itu tak mengapa, karena akhirnya kau terbebas dari lara dunia.

Tak ada lagi yang menghalangimu menari dengan jemarimu yang memetik dawai indah itu dengan abadi kini. Tak ada lagi yang menghalangi kecintaanmu pada pena dan fiksi cerita yang pernah mempertemukan kita disini. Do'aku padamu akan s'lalu menyertai. Semoga kita masih saling mengenali, disaat aku menyusulmu di tempat terakhir penantianmu nanti.
~
Edit dari pengalaman pribadi dengan seorang teman wanita yang sekarang benar-benar telah pergi dari dunia ini. Masih potongan aja ya~ Nama dan tempat diubah karena menyangkut privasi. Kalo tembus sampe jadi favorit mungkin bakal saya tulis ulang dalam bentuk novel. Trims~ ... ^_^

Senin, 26 Desember 2016

Karat


Pada langit yang sama di malam yang berbeda, kita pernah melambungkan impian beserta harapan kita ke antara jutaan bintang sebagai saksinya. Namun kini tidak lagi demikian, impian-impian itu telah gugur berjatuhan, bagai meteor yang menghantam bumi pada dasar hatiku, setelah kau paksa aku melepaskan. Karang pun perlahan akan hancur oleh ombak, pun besi dan hati dapat berkarat bila dipaksa untuk melepas cinta yang hebat dengan benturan luka yang dahsyat.

Tidak semata-mata kita lupa pada hal buruk yang pernah menjadi luka. Mengeras suara teriakan kita yang hening melihat wajah kita dihadapan bening. Ketika seorang wanita terluka karena pria, maka akan ada puluhan pria lain yang siap menghapus air matanya. Namun ketika seorang pria yang terluka karena wanita, adakah satu saja wanita yang berani hadir untuk mengobati lukanya? Jika ada, bisa aku pastikan bahwa ia wanita yang akan kujaga dan takkan pernah lagi terluka.

Radio yang memutar lagu kesukaanmu itu membelalak, menohok kenangan lalu di meja yang penuh buku-buku, dan lampu diatas kepalaku. Seketika terasa seperti terserang petir di siang bolong di langit tanpa awan hitam berkelilingan. Belum lagi kertas catatan-catatan kecil dari revisi-revisi, paper-paper, dan jurnal skripsi berserakan diatas lantai, membuat kacau suasana bak aku bermain di taman rimba.

Kenangan kita tak pernah abu, katamu. Ia selalu menemani mata yang melihat cahaya dan gemerlap gemintang di atasmu, hanya saja selalu sabar terlalu cepat, bagiku semua menjadi karat. Berakhir tanpa alamat pasti, memutar ke arahmu lorong sebelah kiri, pada jembatan yang tak pernah mati, menjadi saksi. Kita dulu pernah bersama jalani hari-hari.

Tidak ada seorang pun yang terbebas dari kata "Merindukan" , tetapi kini aku sudah lebih memahami kehormatan. Karenanya aku akan menyimpan dalam do'a penuh keikhlasan. Ikhlas dengan takdir yang masih menjadi misteri. Pun jika nanti tidak dipersatukan, aku sudah ikhlaskan lewat do'a yang telah terlanjur aku lirihkan.

Jumat, 16 Desember 2016

Rindu


Hari ini hujan, dan lagi secara sengaja atau tidak aku jatuh tepat di tempat dimana aku dan kamu pernah meneduh juga dibawah hujan dimasa kala aku masih bersamamu. Hujan? Lagi? Ya~ entah sudah berapa kali aku bercerita tentang hujan dan kamu yang selalu berujung membahas tentang rinduku padamu yang kini mungkin tak lagi bisa berujung temu. Semoga saja tetap begitu~

Hujan dan rindu selalu datang dan melepur menjadi satu tapi maaf kali ini bukan tentang kamu duhai masa laluku, tapi tentang dia seorang baru yang telah hadir dalam hidupku. Siapa dia? Aku belum mau untuk menyebut namanya karena aku juga belum ingin kembali jatuh cinta lagi.

Hey~ bukan berarti aku masih merindukanmu, tapi lebih kepada aku yang belum siap untuk keadaan dan suasana baru untuk kembali berkomitmen seperti dulu. Aku hanya ingin mengejar cinta yang sejalan dengan aturan-Nya saja dan tidak perlu untuk terburu-buru, dan lagi aku masih ingin menikmati kesendirianku.

Hari ini adalah hari ulang tahun dia. Ya dia yang entah benar atau tidak aku merasakan sesuatu darinya. Tapi aku belum yakin apakah itu cinta atau hanya rasa kagum saja. Sekali lagi, aku tak perlu terburu-buru untuk mengetahui dan memastikannya karena aku ingin semua berjalan secara sederhana saja. Yang jelas saat ini aku sedang merindukannya, dibawah hujan panjang di waktu malam bersanding dengan kopi hitam, tahu aci goreng, dan gitar. Tentu saja tak lupa, laptop yang selalu ada dimana aku membutuhkannya ketika ingin mengutarakan rasa dalam diamku.

Hey kamu yang sedang berulang tahun disana, apakah kamu merasakan hal yang sama? Rindu akan pertemuan dan komunikasi singkat kita lewat pesan singkat di sosil media yang selalu membahas tentang suatu cerita? Tentang hujan dan angin, atau tentang cuaca yang biasanya aku dan kamu gunakan dalam pengandaian kita saat bercengkerama? Aku rindu kamu secara tiba-tiba dan begitu saja. Entah, mungkin karena tak sengaja aku melihatnya tentang hari ini yang adalah hari ulang tahunmu di sosial mediaku, mungkin saja.

Hey kamu yang sedang berulang tahun disana, sadarkah kamu aku membuat sebuah pesan lewat gambar yang juga aku buat dan aku unggah hari ini di salah satu jejaring sosial mediaku? Mungkin tidak karena kamu mungkin bukanlah tipe anak manusia yang peka akan rasa dari seorang yang pemalu sepertiku yang sekarang ini dalam merayu. Maafkan aku karena aku belum siap dan bisa untuk dapat langsung menyatakan rasaku secara gamblang, aku yang sekarang hanya mampu untuk mengagumimu dalam jarak dan diam. Sekali lagi, aku hanya belum siap untuk kembali merajut sebuah hubungan baru dengan seseorang yang baru. Hanya saja ini belum waktu, menurutku.

Teruntukmu yang saat ini sedang kurindu, maafkan aku. Aku hanya manusia biasa yang dengan nalurinya tentu saja bisa jatuh cinta pada wanita dan lawan jenisnya. Maafkan aku karena ini sungguh belum tepat waktu. Aku 'pun tak ingin mencemari hatiku dengan rindu yang tak perlu. Bila 'pun nanti kita memang ditakdirkan untuk bersatu, aku hanya ingin menghias jemarimu dengan genggaman cincin maharku. Dan jika setelah ini, terkadang tetap hadir rinduku padamu, kamu tak perlu tahu. Karena mungkin itu hanya perasaanku saja~

Sabtu, 10 Desember 2016

Angin Malam

Angin Malam di Yogyakarta Membawa Kembali Cerita


Dingin, ya malam ini terasa begitu dingin. Setelah siang turun hujan tiada henti,  malam ini angin berhembus kencang pada cuaca terang yang berganti. Lalu begitu saja menyapu debu di sudut jalan yang aku lalui. Ah~ sialnya angin itu mengingatku tentang kamu, ya kamu yang pernah datang dengan hebatnya kini lenyap begitu saja. Persis seperti angin yang kutemui malam ini, dahsyat menggerakan kakiku untuk melangkah di tempat baru. Hey tahukah kamu dimana aku sekarang berada? Kalau kau masih ingat, aku ada di kota yang terakhir kalil kau minta kita pergi bersama namun tak terlaksana.

Di satu jalan gelap kota Yogyakarta, aku berjalan dengan sepedaku sendirian menghabiskan waktu malam. Jenuh. Saking jenuhnya aku tak tahu lagi harus menuju kemana hingga tiba aku di persimpangan kaliurang. Lalu tanpa sengaja, aku melihat sosok yang dulu pernah singgah di hati sementara. Ah~ dia sudah memiliki pria ternyata, pikirku dalam hati. Ya tak mengapa, memang sudah sepantasnya karena kami sudah lama berpisah. Dia juga melihatku, masih dengan tatapan yang sama sebelum kita pisah dulu. Ada apa dengan tatapan itu? Entahah mungkin waktu yang akan menjawab semua tanya. Ntah nanti atau lusa di saat sudah tepat waktu.

Kucari lagi dan kulihat kembali sosial medianya yang sudah lama tak aku jumpa. Bagaimana bisa aku melihat gadis lain jika saat itu aku juga memiliki wanita sepertimu yang kucinta? Begitulah aku, lekaki bodoh yang hanya bisa melihat satu wanita di satu waktu saja. Oh~ ternyata belum lama ia bersama dengan pria itu pikirku dalam hatiku. Baru saja setahun berlalu. Tapi tetap saja, itu waktu yang lebih lama dibanding denganku dulu.

Kembali aku melanjutkan jalan-jalan malam bersama sepeda yang sudah hampir sembilan tahun lamanya bersama. Saking setianya ia adalah saksi pertumbuhanku sedari remaja hingga kini dewasa. Kali ini aku berhenti di persimpangan dekat kampus Sanata Dharma. Lagi, aku melihat wanita lain yang dulu pernah singgah walau cuma sementara. Kali ini ia hanya sendiri tapi tetap tatap matanya berbeda dari yang dulu pernah kutahu. Aku kembali ber-kepo dengan sosial medianya, mencari tahu tentang dia yang lain yang juga ternyata sama, sudah memiliki pria. Lagi? Ada apa dengan situasi  aneh malam ini?

Malam ini sungguh lucu, aku berjumpa dengan dua orang dari masa lalu yang dulu kupikir akan bersama selalu tapi perlahan selalu saja dipisah jarak oleh waktu. Tawa kecil berselit dihatiku, bajingan macam apa aku yang punya banyak wanita di masa lalunya? Apalagi selang waktu berpindah hati itu tak pernah butuh waktu yang lama. Mungkin itu jua yang menjadikan kesendirianku kini menjadi renungan yang berarti, tentang karma dan kedewasaan hidup yang harus kulalui. Terima kasihku untukmu sekalian masa laluku.

Kuakhiri perjalanan malamku sendirian malam itu menelusuri daerah malioboro mengenang masa magang yang indah bersama teman kuliah satu kontrakan, lalu berlalu menuju condong catur dimana dulu aku biasa menghambiskan waktu nongkrongku di salah satu kafe daerah itu. Ah~ ternyata sudah tidak ada, sama seperti rasa dalam jiwa yang kini mungkin sirna. Dan berakhir pada daerah kampus ungu tempat aku menginap pada teman lamaku.

Angin malam Yoygakarta telah membawa kembali cerita, tentang masa indah yang sudah melewati senjanya, kini tertutup rapi menjadi kenangan sahaja. Sungguh perjalanan malam sendiri yang cukup indah dan berarti. Membawa kembali semangat tentang cita dan cinta yang dulu pernah mati untuk hidup lagi. Entah untuk bertemu dengan mereka yang dulu ataupun orang yang baru. Untuk sekali lagi percaya pada cinta yang akan membawa diri pada bahagia setelah sekian lama terbungkus dalam ruang gelap hampa.