Pada langit yang sama di malam yang berbeda, kita pernah melambungkan impian beserta harapan kita ke antara jutaan bintang sebagai saksinya. Namun kini tidak lagi demikian, impian-impian itu telah gugur berjatuhan, bagai meteor yang menghantam bumi pada dasar hatiku, setelah kau paksa aku melepaskan. Karang pun perlahan akan hancur oleh ombak, pun besi dan hati dapat berkarat bila dipaksa untuk melepas cinta yang hebat dengan benturan luka yang dahsyat.
Tidak semata-mata kita lupa pada hal buruk yang pernah menjadi luka. Mengeras suara teriakan kita yang hening melihat wajah kita dihadapan bening. Ketika seorang wanita terluka karena pria, maka akan ada puluhan pria lain yang siap menghapus air matanya. Namun ketika seorang pria yang terluka karena wanita, adakah satu saja wanita yang berani hadir untuk mengobati lukanya? Jika ada, bisa aku pastikan bahwa ia wanita yang akan kujaga dan takkan pernah lagi terluka.
Radio yang memutar lagu kesukaanmu itu membelalak, menohok kenangan lalu di meja yang penuh buku-buku, dan lampu diatas kepalaku. Seketika terasa seperti terserang petir di siang bolong di langit tanpa awan hitam berkelilingan. Belum lagi kertas catatan-catatan kecil dari revisi-revisi, paper-paper, dan jurnal skripsi berserakan diatas lantai, membuat kacau suasana bak aku bermain di taman rimba.
Kenangan kita tak pernah abu, katamu. Ia selalu menemani mata yang melihat cahaya dan gemerlap gemintang di atasmu, hanya saja selalu sabar terlalu cepat, bagiku semua menjadi karat. Berakhir tanpa alamat pasti, memutar ke arahmu lorong sebelah kiri, pada jembatan yang tak pernah mati, menjadi saksi. Kita dulu pernah bersama jalani hari-hari.
Tidak ada seorang pun yang terbebas dari kata "Merindukan" , tetapi kini aku sudah lebih memahami kehormatan. Karenanya aku akan menyimpan dalam do'a penuh keikhlasan. Ikhlas dengan takdir yang masih menjadi misteri. Pun jika nanti tidak dipersatukan, aku sudah ikhlaskan lewat do'a yang telah terlanjur aku lirihkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar