Senin, 26 September 2016

CSS

Cinta Seperti Senja


CSS itu singkatan dari Cinta Seperti Senja bukan Cascading Style Sheets dalam dunia Pemrograman Web (internet). Yang berarti bahwa perasaan cinta yang dimiliki dan diterima seseorang dapat terjadi dalam proses yang sangat singkat seperti waktu berlangsungnya senja. Lagi, perusakan istilah tatanan bahasa dalam Teknik Informatika. Sesingkat berlalunya senja, secepat melambungnya bahagia. Tulisan kali ini berisikan harapan pada orang yang baru ditemui entah dimana dan siapa namun ia mampu mencuri hatinya. Walau tak pernah tahu siapa namanya, cinta dalam diam itu memiliki harapan dan do'a selalu untuk esok lagi bisa berjumpa. Semoga jodoh dapat dipersatukan bersama dalam jumpa berikutnya.


Teruntukmu yang pernah tak sengaja bertemu, apakah kau tahu bahwa aku jatuh hati padamu? Jatuh hati pada saat aku berada di depanmu. Jatuh hati saat aku melihat wajahmu. Jatuh hati saat melihat senyum manismu. Ku tahu padahal tanpa madu dan pula gula disana. Bercanda. Namun dirimu lebih memilih untuk menundukkan dan menjaga pandanganmu dariku. Lalu aku tahu kau adalah salah satu wanita surga yang pernah menjadi mimpiku.

Aku tahu aku tak akan bisa bertemu. Aku tahu aku bahwa pertemuan itu mungkin hanya akan jadi yang pertama dan terakhir bagiku. Setidaknya aku tahu aku walau dalam pertemuan yang tak menentu itu aku pernah jatuh hati padamu. Setidaknya aku harus aku untuk tahu, untuk tahu diri dan menahan dengan mampu. Karena bahwasanya dalam temu yang tak tentu itu, belum boleh kita jatuhkan hati pada seseorang yang belum pasti tentu. Setidaknya untuk saat ini.


Selanjutnya aku hanya ingin berdo'a dan merayu pada sang Maha Tahu. Mungkin saja sekarang, esok, atau lusa kita bisa bersama dan bersatu. Hingga datang satu waktu dimana aku akan bertamu, membuatmu kaget yang sedari kemarin menunggu berdiri di ambang pintu. Tak pernah tahu bahwa yang akan datang menjemputmu adalah aku. Dan kau pun menerka darimana aku mendapat alamatmu. Dengan begitu aku akan mampu membuktikan keseriusan dan kesiapanku.

Tak perlu waktu lama, singkat saja, seperti waktu senja. Aku tak ingin waktu-waktu yang berharga hilang sia-sia dan sirna. Aku akan dengan tiba-tiba saja datang untukmu menemui orang tuamu. Untuk dapat melamar dan meminang membuat rumah tangga dan keluarga denganmu untuk kita. Ya, begitu saja hingga pada akkhirnya akan kita yakini inilah hasil dari semua sujud-sujud panjang dalam do'a, bahwa jodoh pasti bisa bertemu, bersatu, dan bersama. Walau kita tak pernah menyangka untuk mengenal satu sama lain pada awalnya.

Sesingkat berlangsungnya senja, secepat pertemuan satu kita. Tak perlu waktu lama untuk menyatukan cinta untuk bersama. Tak perlu jatuh dulu dalam cinta, hanya perlu untuk membangun cinta setelah jumpa indah singkat kita. Cukup sesederhana itu saja.
Begitulah cinta dalam diam pria islam yang beriman. Tak perlu proses dan waktu yang lama untuk mengutarakan janji-janji dan kata untuk menjemput takdir cintanya. Cukup dengan keseriusan dan kesiapan serta kemapanan mereka akan langsung datang padamu menuju orang tua. Jika belum mampu, mereka akan menyimpan dengan indah dalam diamnya. Seperti waktu senja, keindahan yang singkat memang seharusnya ditangkap dan diabadikan dengan cepat, agar tanggap untuk mampu dikenang selamanya.

Seperti mimpiku untukmu jodohku yang masih disana, kita awali pertemuan indah yang singkat, namun berlanjut dengan membangun cinta bersama yang abadi selamanya karena-Nya. Itu akan jauh lebih bermakna daripada awalnya jatuh cinta, lalu pergi ketika sudah habis kadarnya. Percayalah aku sudah muak untuk kecewa karena jatuh cinta. Jauh lebih baik jika kita membangun cinta. Karena jatuh cinta berdurasi hanya sesingkat senja, sedang membangun cinta akan seperti kita menikmati indahnya hari-hari terlewati bersama, menikmati berlalunya senja di setiap waktunya.

Jarak

Jarak 2 Hati


Kau tahu mengapa orang yang saling marah berbicara dengan nada suara yang tinggi keras? Itu karena jarak antara hati mereka sedang menjauh hingga kata yang diucap sulit untuk sampai, maka harus keras dan tinggi untuk mampu menggapai dan mencapainya. Bilamana hati mereka dekat, kalimat selirih desir angin pun akan terdengar jelas dengan nikmat. Itulah hal istimewa jarak dalam hati antar manusia.

Teruntukmu yang telah pergi, tak perlu repot untuk melebarkan jarak antara kamu dan aku. Sebab aku sudah cukup puas dengan keadaan yang sekarang, dimana aku sudah tak peduli kamu ada atau tidak. Aku yang pernah berusaha menunggu tapi kau abaikan selalu, kini berjalan dibawah awan sebagai saksi yang berarak. Bilapun aku berhenti mencintaimu dalam detik dan detak, biarlah kita tak lagi satu dan sama dipisah oleh jarak.

Aku pun sudah beranjak pergi meninggalkan senja dan pelangi. Pada langit yang merah mega, dengan sayap kepak-kepak, malaikat memetik dawai mengiringiku hijrah dan pergi. Karena pergi itu pasti, dan pisah sudah terjadi. Bukan berarti kita tak lagi saling peduli, anggaplah itu cara kita sekarang mencintai.

Awalnya kuntum-kuntum sepi memang mulai tumbuh dan dibiarkan merekah, lalu menjadi buah yang berani dan merah. Aku pun sempat mengenal sepi diantara wewangi serpihan perkara hati. Meski telah aku tuliskan di kulit hujan, sudut terujung dari nestapa adalah kesepian. Tapi hidup tanpa hujan pun akan terasa gersang, layaknya luka di tanah surga, pernah kurasakan jua, namun sempat aku rasakan nikmat sungai susunya.

Aku pun pernah berjalan-jalan dengan nada dan dada yang menyala-nyala karena sepi. Bertabuh-tabuh tinggi mengusir kawanan merpati. Namun pada akhirnya aku tersadar bahwa kita telah berjarak. Sejauh manapun kubangun rasa setia akan tetap sirna bila jarak telah mengepak. Seperti dalam movie animasi 5cm/s, bahkan untuk hati yang tak lagi ingin bersatu dan bersama, walau hanya untuk 1 centimeter jarak mereka takkan mampu bergerak untuk mendekat.


Dari jarak mari kita mengenal rela. Kau telah beranjak, begitu pula aku mulai merangkai jejak. Melepas hal-hal yang tidak masuk akal, seperti harus selalu ada dan bersama. Seolah sudah larut dalam paham bahwa selama ini kita hanya bersama, bukan bersatu. Hingga sempat saling memberi luka dan kecewa, bukan penerimaan diri apa adanya.

Dan biarlah jarak mengajarkan rela, dengan siapa kelak kita mendapatkan nama. Bukankah begitu kita dulu bisa bersama. Saat pernah melekat tanpa sekat, sampai kini tak saling sapa karena jarak yang ada. Apapun itu ia telah mengajarku untuk mengenal rela. Rasanya yang tenang membuatku penuh rasa ingin melepaskan.

Tentang hati pada jarak-jarak yang tak mudah ditebak, meski harus terhentak pada waktu yang berdetak, yakinilah bahwa aku dari namamu sudah beranjak. Aku kini mencintai jarak-jarak kita yang terselip oleh jejak, walau pernah tersentak karena rahasia dan tempat yang tak terungkap. Setidaknya kita pernah saling bahagia, sebelum akhirnya berusaha untuk saling lupa.

Sabtu, 24 September 2016

Sisa

Sisa dari Butiran Rasa


Masih kuingat dengan jelas saat-saat dimana desir angin pernah berhembus merayap menyikap hijab cantikmu malam itu. Di suatu tempat di kota dimana pertama kali kita bertemu, pernah bersatu. Tapi dalam sekejap semua itu lenyap. Hilang ditelan lamunan yang terpecah oleh hujan yang memang sedari tadi kutatap.

Ya, aku sedang disana, di tempat pertama kali kita berjumpa. Meneduh pada kenangan kita di tengah turun hujan sembari menikmati senja.

Gelegar hati akan sakitnya kecewa masih dalam aku rasa, getir di dalam hati dan muka bibir untuk melihat kembali cerita. Tapi, entah sejak kapan aku mulai jatuh cinta pada rasa sakit yang memeluk lekuk jiwa tanpa jeda. Bahkan bias senja pada hujan yang menemani pelangi saat ini, tak mampu lagi memecahnya pula. Mungkin aku seorang masokis, kurasa.

Lama aku berdiam disana berteman hujan sedari gerimis lalu deras sampai henti, hingga langit pun menutup tirai terangnya. Berganti dari matahari yang pergi, ke para bintang kecil yang bercahaya terang-redup bagai sedang menari. Dari sana aku percaya bahwa biar waktu silih berganti, dan luka lara selalu terjadi, tetap ada sisa keindahan dalam kenangan yang dapat dinikmati.


Kau tahu apa yang aku tunggu disitu? Hadirmu kembali yang dengan ajaibnya mungkin terjadi. Karena mungkin saat itu jika kau terbangun dari tidurmu dan merindukanku, lalu kau mencari di belahan bumi mana berada aku, kau akan pergi ke tempat itu. Jika benar saja kau berubah pikiran, dan tentang aku lalu kita terpikirkan, kau akan menemukanku di tempat ini, di pojokan taman.

Orang yang lalu lalang banyak yang menatapku nanar, karena mataku kosong sayu tak bersinar. Beberapa bahkan memberiku uang. Aku tak sepatah itu sampai harus diberi belas kasihan, aku hanya seorang broken-hearted man. Aku tahu hal itu terlalu menyedihkan untukku. Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk berpindah darimu? Sedang aku masih menjatuhkan cinta dan hatiku padamu.


Tentang sisa dari rasa yang pernah ada, aku yang saat ini mungkin belum bisa untuk beranjak dan berpindah pergi. Hingga pada akhirnya aku padamu terus menanti dan mencari. Bila suatu saat nanti kau temukan selain aku sebagai penganti, tolong ajari aku cara bagaimana untuk tahu diri. Tapi jika takdir berbicara lain untuk menyatukan kita kembali, datanglah kemari di tempat dimana aku akan selalu menunggu dan menanti.

~

Terima kasih kepada saudara Alam Lukman, teman dari curhat.com yang sudah memberi ide dari kutipan dan gambarnya yang luar biasa menginspirasi.

Kamis, 22 September 2016

Dilema

Pertentangan Nurani dan Logika


Ketika malam semakin kelam, ditengah langit yang sedari lama menghitam, di satu sudut ruang gelap mencekam, terjadi pertengan antara otak dan hati. Kepada logika diri berkata bahwa dia takkan pernah kembali. Kepada nurani diri berbisik bahwa dia masih layak untuk terus dinanti. Sekali lagi pertempuran badar dalam diri selalu saja berkecamuk tanpa henti, sedang cinta untuknya selalu ada dalam diam menjadi sebuah dilema.

Inilah hatiku yang kadang sekuat baja, kadang serapuh kaca. Kadang ingin setegar karang di lautan, kadang selemah rating di pepohonan. Kadang ingin setenang air di tengah danau, kadang seperti air di tengah dedaunan. Kadang ingin sehening malam, kadang bising seperti di tengah siang. Inilah hatiku yang kadang bertekad untuk tetap bertahan dan terus berjuang, walau harus kuhadapi berbagai rintangan. Meski nyatanya, ketika keadaan tak seperti yang kubayangkan, hatiku kembali merapuh bagai dihantam badai dan nampak tak lagi sekuat batu yang ditejang ombak besar.

Inilah hatiku yang terkadang kali muncul keinginan untuk melangkah ke depan dengan sempat pula bertekad untuk melupakan, namun nyatanya selalu gagal. Ketika muncul rindu di tengah yang menghadang, saat bayangnya seringkali melintas dalam ingatan. Aku kembali mencari tau tentang dia dan keadaannya yang memang sulit terlepas dari kebiasaan. Dan nyatanya aku tak beranjak melangkah dari titik awal dan tetap diam berputar.

Inilah hatiku yang mudah merasa bahagia, mudah pula merasa terluka, dan kadangkala keduanya datang bersama. Disanalah semua berawal rasa saling beradu. Ada rindu, ada pula cemburu. Ada sayang, ada pula dendam. Ada cinta, ada pula luka. Ada impian, ada pula kenangan. Pertentangan yang selalu terjadi antara nurani dan logika yang menghasilkan sebuah dilema.

Adakah hal lain yang patut diperjuangkan selain isi perasaan?

IG : @kupanahatimu.

Selasa, 20 September 2016

Kopi Hitam

Filosofi Cinta si Kopi Hitam


Kau tahu apa itu minuman kopi? Pernah engkau menikmati kopi? Bagaimana rasanya? Apakah kau mengerti kenikmatan dari secangkir kopi? Pernah engkau menangis karena ingatan secangkir kopi nikmat yang kau habiskan? Bagaimana dengan filosofinya? Sehitam kopi segelap perasaan, ada rasa manis sebelum pahit terasakan. Beberapa cangkir kopi dalam sehari mungkin sering aku habiskan, dan rasanya tetaplah sama. Manis diawal, lalu pahit dipenghabisan. Seperti sebuah kisah seseorang yang dibuat jatuh cinta lalu ditinggal begitu saja.

Pecinta kopi tahu pasti bahwa ada nikmat dari pahit yang bisa diresapi. Bak hati yang tidak bisa selalu berbicara jujur dengan nurani, seperti rasa kopi yang terkadang manis seperti jatuh cinta, sehangat temu rindu, sepanas rasa cemburu, dan sepahit jalan perpisahan kita. Dan mereka tahu pasti dari aroma yang khas dan  rasanya yang tegas, sebuah cerita luka terdalam berawal dari dia yang kau rasa pantas namun kemudian pergi tak berbekas. Hanya bersisa kenangan rasa yang tak terbalas. Seperti rasa pahitnya kopi malam ini, takkan lebih pahit lagi dari hati yang mencintai dengan pasti namun gagal untuk bertahan memiliki.

Tapi kau tahu? Kau sudah bagaikan kafein dalam kopiku. Cinta dan hadirmu sudah menjadi candu, yang mampu membuatku gila jika terlalu lama kita tak temu. Meski aku tahu keberadaanmu tak baik bagi kesehatanku, karena sesungguhnya secara perlahan itu merusakku, tapi apalah dayaku? Tanpa hadirmu akan terasa beda nikmat dalam secangkir kopi dan perasan cinta pada setiap hariku. Itulah salah satu alasanku dengan mudah berucap I love You padamu meski kau beri lara selalu.


Malam ini sengaja kusediakan dua cangkir kopi diatas meja. Satu untuk mataku yang masih ingin terjaga, lalu satu untuk mengenangimu yang kini telah tiada. Dan kau tahu kenapa akhir ini mataku susah tidur berkepanjangan? Bukan karena kopi yang selalu kuteguk di waktu malam, melainkan karena terlalu banyak rindu yang menolak untuk dipejamkan. Hal itu yang membuat rasa kopiku menjadi lebih pahit dari biasanya, seperti kita yang pura-pura tidak saling cinta karena sudah terlalu sering dibuat kecewa.

Ada kalanya kita rindu akan hadirnya rasa. Hal itu terjadi karena suatu hal yang biasa kini telah jadi berbeda. Tapi jika datang rindu dan tak tahu apa yang harus dituju, dengan batang-batang yang mengabu, justru membawa aku semakin dalam jauh memikirkanmu. Sejak itu aku putuskan tak lagi sediakan kopi dengan gula. Karena aku jadi kian tak tertarik dengan pemanis untuk sesuatu yang ditakdirkan pahit. Karena seringkali jalinan kasih sayang yang kusajikan bersama pemanis buatan selalu kau pahitkan, hingga sampai saat dimana kau jadikan semua ini kenangan. Ya, seperti rasa kepergian yang mengepul bersama aroma kopi malam ini, hangat dipermukaan, getir diperasaan.


Paginya kembali aku terjaga dengan mata dan hati yang sama. Masih aku tak bisa beranjak pergi. Karena itu aku seduh kembali secangkir kopi sembari melihatmu bermain hati. Kau tahu? Rasanya kali ini manis, seperti aku yang sabar menunggu kepastian cinta selanjutnya yang manis darimu. Tapi lama-kelamaan menjadi dingin, seperti dua hati yang menunggu cinta namun tak kunjung tiba. Lalu hambar, seperti hati yang yang tulus mencintai dan menunggu namun diabaikan begitu saja. Selanjutnya terasakan pahit dalam cangkir ini, seperti dua orang yang terlambat dipertemukan lalu perlahan saling melupakan karena sakitnya pengkhianatan.

Tentang cinta dan hati, terlalu singkat bila kita bahas ceritakan disini. Bagaimana kalau kita bicarakan sambil ngopi-ngopi? Becanda. Yah begitulah kepergian cinta, memang menginggalkan luka rasa yang lama nyata. Tapi kau harus tetap mampu terus berdiri, dan awalilah harimu dengan menyeduh secangkir kopi. Karena kau tahu hal itu jauh lebih berarti, daripada hadirnya kini, yang tak lebih dari hanyalah sebuah ilusi. Jangan kau tumpahkan semua rasa sia-sia, karena hati seperti cangkir kopi, lalu cinta adalah air kopinya. Kadar cintamu yang begitu banyak tak akan layak dan muat untuk mereka yang berhati terlalu sempit.

Jika kau sudah muak dibuat kecewa saat jatuh cinta, itu tak mengapa. Coba atur waktumu, kita nikmati kopi berdua, saling bertukar canda dan tawa denganku, lalu kita membangun cinta.
Santailah bila kali ini kau belum ada waktu mengopi denganku. Sama seperti kesempatan untuk dicinta, masih banyak kesempatan lain kita ngopi bersama di lain waktu. Entah hanya berdua bersamaku atau bersama beberapa orang baru yang nanti kita ajak dan temu. Begitupun dengan cinta, masih bisa kembali dengan orang yang sama atau bertemu dengan orang yang baru.

~

Thanks to inisial_y at IG : @khoekcuih yang dari kutipan-kutipan beliau saya bisa terinspirasi menuliskan arsip ini.

Jumat, 16 September 2016

Risau


Aku risau pada hujan panjang yang datang tidak pada langitnya. Sebab ada tanah merah yang tak kunjung siap kembali basah. Pikirnya segala sesuatu tentulah datang dengan sebuah tanda pisah. Seperti aku kini, risau pada seseorang yang datang tidak pada waktunya. Sebab ada hati yang tak kunjung siap kembali merasa. Pikirnya seseorang tentulah datang dengan sebuah tanda kecewa.

Aku mendesau, melihat bangau yang mengepakkan sayapnya dan mengagetkan ikan di tengah tenangnya danau. Seperti aku yang mendesau pada senyum di wajahmu yang mengagetkanku pada tenangnya lamunan payau. Lalu kuikutkan sebuah tanya padanya, "Batinku, bisakah engkau datang ketika keadaan sudah arif menerimaku?" Sungguh tak semestinya matamu yang alum datang pada kelopak mataku yang kosong terusir masa lalu. Karena keadaan ini sungguh belum tepat waktu.

Aku berpikir, awalnya engkau hanya sekedar hadir ketika perasanku masih lembab diremas nadir, dan tak pernah menerka segala yang sumir, namun ini mungkin bisa menjadi takdir. Seperti aku yang tak pernah habis pikir, mengapa engkau selalu hadir kepada diriku ketika merasa ternyinyir dan tersingkir? Walau hanya dengan senyummu yang bersambung dengan sapamu, itu cukup mampu menenangkanku barang sekejap. Sayang, bibirku masih ragu untuk membuka kata. Selalu saja aku membisu, hingga akhirnya kau 'pun berlalu.

Dan diantara doa-doa terhantarkan, wajahmu terangkum pada luas tanganku, menjelma ketakutan pada kenangan. Seperti kisah-kisahku yang telah lalu, aku tak ingin mengulang pada kegagalan, karena hatiku belum cukup sampai pada kesiapan. Lalu ruas jemari menari-nari tayangkan hari-hari yang telah kulewati sebelum ini, yang terlewatkan. Kembali berharap lagi bahwa kisah pilu takkan terulang lagi.  Padahal masih ada do'a yang masih terpanjat entah berujung kemana dan pada siapa.


Ada harapan yang mesti dirawat, disiram dengan do'a hangat, agar ia tumbuh merambat dengan sehat dan cepat. Membesar mengikuti pagar yang dengan sabar menjaga dari desah dan hela nafas yang panjang. Begitulah pohon merambat mengajarkanku melihat alirah darah yang menyempit di bulat wajahmu. Mengajariku untuk diam dan kuat melihatmu tumbuh, hanya sesekali memaksamu untuk menuju jalur tumbuh yang lurus agar kau tinggi dan tidak mudah roboh. Dan selalu ada sebagai teman bersandar ketika angin badai datang meniupmu kencang.

Seperti ombak dan riak hanya ingin bergerak, tanpa peduli pada perahu yang kita arak, dan layar dibentangkan angin kepada siapa yang layak. Seperti itu pula aku hanyut dalam kuasamu. Lalu angin yang dingin itu membekukan banyaknya ingin. Seperti burung pelikan hitam berkepakkan, dia datang untuk mengarahkan. Kemana sebaiknya perahu risau ini menuju.

Tak semestinya pada kesepian aku kalah, lalu jatuh dalam gelisah, sebab kenangan tak akan jatuh pada pelupuk mata yang salah. Dan tak semestinya aku sakit pada masa lalu yang bangkit, sebab ingatan tak akan jatuh pada diri yang dignit(y). Ingatlah bahwa tanah tak pernah bisa mengelak kemana kaki melangkah, sebab perjalan telah memberikan banyak hadiah. Seperti bahwa hidup kita yang tak pernah bisa mengelak pada takdir, sebab perjalanan kita telah lama terukir. Cukuplah berbaik sangka kepada Sang Maha Baik nan Sang Maha Pengatur, pastilah  pada kebaikan engkau diberi dan diatur 'kan.

Kamis, 08 September 2016

Secerca Cerita Rindu


Di satu malam saat turun hujan, angin dingin rindu menerpa halus pada ragaku menembus hingga kalbu. Mengingatku akan sosokmu yang dulu selalu menghangatkan malamku, lewat canda tawa obrolan ringan denganmu. Dingin malam menjadi temanku saat itu, yang bahkan secangkir kopi tak mampu menahan rasaku. Rindu, aku rindu akan dirimu, aku rindu berbincang denganmu, dan aku sangat rindu bermanja denganmu. Rindu semua tentang kamu, tentang apa kita bersama dulu.

Ah~ tapi aku sadar semua itu hanya rasa egois kesepian yang telah menjajah jauh ke dalam hatiku, terbawa suasana sepi nan haru. Karena memang hujan selalu membawa kembali ingatan sedih yang telah lalu, membawa kembali ingatan tentang apa yang telah pergi dariku, membawa pergi hal yang baiku bagiku, membawa kenangan tentang kamu, tentang apa yang telah kita lewati, tentang apa yang telah kita saling beri, tentang dulu lagi, lagi, dan lagi.

Seperti senja yang tak pernah pamit kepada siang ketika malam menjelang, seperti bunga yang tak pernah pamit kepada daun ketika ia harus mekar, seperti ombak menerjang karang yang tak pernah pamit kepada lautan ketika harus terjadi pasang, seperti itu saja, tiba-tiba datang, tiba-tiba hilang, tapi selalu ada. Lalu diam-diam, dalam tiba-tiba yang entah disengaja atau tidak, semua menjadi  terasa menyenangkan, sehingga waktu terasa tak pernah ada dalam huruf-huruf atau kata-kata yang kupilih ketika terjadi dialog dalam gambaran-gambaran kenangan bisu itu, tentang merindu.


Teramat banyak makna, teramat singkat cerita, hingga teramat banyak cinta yang dulu kita siram bersama sampai kini layu di taman bunga itu ketika terjadi kisah pisah dulu. Sayang, kadang datang hujan rindu yang menghidupi kembali tanah kering yang seharusnya sudah mati, memberi arti kembali pada sesuatu yang seharusnya telah pergi, tak mungkin akan kembali lagi. Namun anehnya tak lagi membawa lara hati, tak lagi membawa harapan pada mimpi kita lagi, tak membawa rasa itu kembali seperti dulu lagi. Hanya rindu tentang hal yang ingin dirindu bukan tentang dirinya dan mu, sekali lagi hanya tentang merindu.

Teruntukmu gadis yang dulu bertemu denganku enam tahun yang lalu, pernahkah engkau tahu bahwa pernah ada disaat lelapmu, kupandang indah wajahmu seraya aku berdo'a pada Rab-ku, agar aku selalu melihat senyuman terpasang diwajahmu, tak terlepas lagi, dan hanya sedikit kulihat air mata terjatuh pada pipimu, tak lagi terjatuh karena bodoh dan salahku. Adakah laki-laki lain yang tulus selain aku dan ayahmu yang memintakan hal itu? Tak ikhlas rasanya menyerahkanmu pada laki-laki lain yang kau cintai tapi tak mencintaimu melebihiku.

Tentang rinduku padamu yang tak lagi mampu bersatu, aku telah beranjak melangkah melupakanmu. Bukan karena rasaku yang dulu padam untukmu, bukan karena aku telah mendapat sosok penggantimu, dan bukan karena menyerah akan takdir berpisah denganmu. Itu semua karena aku tahu kau tak lagi berharap padaku, tak lagi ingin aku berada dalam masa depanmu, dan tak ingin lagi menatap masa depan bermasa denganku. Melangkah pergi adalah yang terbaik saat ini, esok dan seterusnya. Untukmu masa laluku yang pernah bermekar dan kini layu, tetaplah tenang disana, di dalam ingatanku. Semoga bahagia menjemputmu~

Kata Semanis Syukur


Mencintaimu dalam diam bagaikan harus memeluk duri, semakin aku mencintaimu maka duri itu akan semakin menampakkan rasa sakit pada diri ini. Aku takut, diri lupa pada siapa memintamu hadir di duniaku lalu menjadikan posisimu yang memiliki posisi tersendiri dalam hatiku. Kini, sebaiknya aku menghapus rasa ini walau tak semudah orang-orang berkata "ikhlas" kepadaku. Ikhlas yang tak memiliki definisi yang jelas namun identik dengan tujuan untuk melupakan. Melupakanmu jauh lebih baik daripada melupakan Tuhanku dan siapa yang membuatku hidup.

Kebodohanku pernah terkesima denganmu yang membolehkan rasa ini tumbuh terselip rapat dalam hatiku, hingga angan harapan bahkan janji bersemai begitu saja karena terasa begitu indahnya. Kadang semuanya menjadi tentang dirimu, namamu menjadi yang pertama di dalam hati. Ya, dulu kita sebut itu cinta yang semestinya tak aku ada. Kesalahanku percaya begitu saja pada manisnya tuturmu tersurat janji yang kau bilang pasti, tak kau tak tepati. Khilafku mengizinkanmu mengisi penuh ruang hati serta fikiranku dengan sejuta bayang tentangmu, lagi-lagi kita sebut itu cinta yang pernah bersemi sekarang mati. Sukmaku retak remuk berkeping.

Ketidak warasaanku pada masalah perkara yang kuhadapi tak lagi mampu berpikir jernih. Tenggelam dalam lautan emosi dan hancur dalam gelombang napsu, kalah oleh keegoisan diri sendiri. Perlahan tapi pasti sesak dalam dada semakin menguat, bahkan menusuk jantung, membekap nafas, hingga tak mampu lagi menelan makanan. Rusak dari dalam tanpa bekas, tanpa luka, namun mematikan. Manusia lemah terpuruk oleh keadaan, tak mampu bertahan.



Jika mencintaimu memberiku rasa sakit dan menambah dosa, mungkin aku akan melangkah 'tuk menjauh darimu. Cinta tak bisa mengubah manusia, tapi manusia bisa  berubah karena cinta. Seketika malam dalam lamunan, saat do'a aku panjatkan, diri tersadar bahwa cinta adalah perlawanan, dimana jika aku tak mampu menghalalkan lebih baik meninggalkan. Karenanya cinta yang baiklah yang harus aku cari dan dengan cara yang benar.

Mungkin dari luar aku terlihat kuat seperti baja, namun jauh di dalam aku tetaplah kaca. Tapi bersama Tuhan dengan lantunan do'a aku berevolusi menjadi manusia luar biasa. Dengan sigap 'ku tata kembali kepingan hati dengan lantunan rajutan sepertiga malam, kupinta hati tak lagi dijatuhkan pada yang pandai mematahkan, disatukan dengan yang sama-sama memantaskan, bertemu pada kedamaian, hingga 'ku tersadar aku telah jauh melewati rambu agama-Mu. Perlahan kepingan itu kembali menyatu karena aku mulai lapang dengan ketetapan-Nya, berdamai dengan keputusan-Nya. Lebih baik aku mengikhlaskan rasa yang belum tentu akhirnya seperti apa dan bagaimana.

Janji kita belum selayaknya hadir, kecuali telah terpatri dengan akad yang sah. Namun tak 'ku pungkiri bahwa sosokmu pernah menjadi tentang yang terindah dalam hidupku. Ya, itu masa laluku dan kini aku hidup dimasa sekarang jauh dari masa itu. Semua khilaf dan ketidak warasaaanku telah aku bayar dengan hijrahku dan pembuktian. Karena datang dan pergimu meyadarkanku untuk kembali membaca rambu-rambu ajaran-Nya, tentang apa-apa yang belum seharusnya kuhadirkan. Yang kuyakini kini adalah sesuatu yang telah ditakdirkan untukku maka akan selamanya menjadi milikku, hanya masalah waktu untuk mau menunggu.

Aku sudahi untuk mengeluh karena bisa jadi jutaan manusia menginginkan hidup yang aku keluhkan. Cobaanku tidak lebih berat dari para pendahuluku, tak seringan perkiraan orang tentangku, namun yang pasti Tuhan tahu aku mampu. Kelak kau akan mengetahui bahwa tegar hati lebih sulit daripada kuat fisik. Selepas ini, tak ada kata semanis syukur karena pergimu telah ku gantikan dengan dengan hadir-Nya kembali yang kini semakin erat terasa. Juga kata terima kasihku teruntukmu, karena melaluimu kutemukan hidayah ini yang DIA amanahkan untukku. Semoga dapat  kujaga~

Kamis, 01 September 2016

Tulisan untuk Rian


Aku tak tau cara untuk mengatakannya, aku tak tau lagi cara untuk mengungkapkannya, mungkin hanya melalui tulisan ini sebagai media, maksudku akan tersampai padamu.

Kutuliskan kenangan tentang caraku menemukan jalanku, tentang apa yang membuatku mudah berpindah dari hatimu, tentang "boku no kokoro no shinjitsu" yang semoga dapat mencapaimu, akankah sungguh bisa mencapaimu? Aku tak tahu, tapi semoga saja, itu cukup mampu.

Aku pernah cemburu pada sebuah kertas yang tahu isi perasaanmu. Setidaknya ia lebih kau percaya daripada aku.

Aku pernah cemburu pada 140 karakter yang hanya bisa kau tafsir sendiri.

Aku pernah cemburu pada berbagai cerita di sebuah tempat yang aku tak ada di sana.

Aku pernah cemburu pada bingkai foto yang melukis tawa lepasmu ... sekali lagi, tanpa aku.

Aku juga pernah cemburu pada selarik bait yang kau tulis diam-diam di samping gambar-gambarmu. Terlebih pada gambar-gambarmu, aku bahkan sangat cemburu.

Aku juga pernah sedemikian cemburu pada… ah, aku bahkan menggigil untuk menulisnya. Tapi kemudian aku diam, mengapa aku harus cemburu? Dan aku tertunduk menerka-nerka cerita. Melarikkan rasa di atas dawai-dawai panjang pada jemariku, memainkan nada melepas habis semua, atau memainkan permainan pada pc-ku, karena aku tidak bisa menggambar sepertimu.

Hey, apa kamu juga pernah cemburu pada dawai-dawai atau permainan ini?

Aku pernah tersenyum menyaksikan tawa mereka melebur dalam tawamu. Aku bahkan pernah ingin menjadi mereka, agar tak perlu ada kekakuan saat tiba-tiba kita harus sekadar saling bersapa “Apa kabar?” tanpa temu. Aku juga pernah ingin menjadi angin yang menjadi perantara di setiap bisikmu atau menjadi udara yang menguapkan keluhmu. Aku sangat ingin memonopolimu, karena aku sangat mencintaimu saat itu.

Hey, apa pernah sekalipun semuanya kamu tahu?


Kemarin saat kamu bilang akan pergi jauh, aku sangat takut. Ada semacam perih dalam hati yang memaksa mataku berair. Pipiku becek. Sayang~ air mataku, sederas atau sebanyak apapun mengalir, dia takkan punya daya untuk menahanmu tetap disini.

Maka detik itu aku pura-pura tersenyum, kukira itu akan membuatku lebih baik. Tapi di detik selanjutnya aku menyadari bahwa tersenyum sama sekali tak melegakan. Bila kau mengerti, dalam senyum yang kubuat-buat itu sebenarnya hatiku berdo’a:
“Tuhan, tak bisakah Kau lewatkan aku dari cerita tentang keterpisahan ini?”
Belum sempat kudengar jawaban dari-Nya, lantas kususul dengan doa-doa senada:
”Tak bisakah waktu Kau putar lebih cepat sampai ia kembali?” , “Tak bisakah untuk kali ini saja, anugerahi hambamu ini kemampuan untuk memperbudak waktu?”
Entahlah, semoga saja dari sekian doa yang kuucap, Tuhan mungkin mengabulkan paling tidak satu saja. Demi menghibur satu dari sekian miliar hamba yang lebih dari sekadar layak untuk mendapat belas kasihan-Nya.
Menjauh untuk menjaga.
Kau tahu, sejujurnya aku benci konsep itu. Terlalu menyedihkan. Seperti perumpamaan klasik tentang matahari yang mencintai bumi dengan jaraknya. Terdengar tegar dan dewasa memang, tapi tetap saja menyedihkan. Aku mulai mengira, barangkali analogi itu cuma pembenaran teoritis atas tragedi ketidakmampuan mencintai dengan alasan apapun. Atau boleh jadi semacam legitimasi bagi sebuah kerapuhan jiwa. Pecundang yang kalah lalu menyerah tanpa usaha pada hasil yang tak mampu diterima.

Apa yang bisa diharapkan, dari cinta yang bahkan oleh himpitan jarak saja ia jadi tak berdaya? Apa yang bisa dibanggakan, dari cinta yang dengan segala macam pembenarannya saja menyerah pada keterpisahan, pasrah pada ketakberdayaan, sementara seluruh penjuru dunia selalu memuja kedigdayaannya dengan kalimat ‘Amour Vincit Omnia’ (cinta mampu mengalahkan segalanya) ? Apa yang tersisa dari menyerah tanpa berusaha? Cih, kata frasa yang menguatkan dan menenangkan para pemuja cinta, tapi bagiku hanyalah BUALAN belaka.

Kalau saja matahari, memang mencintai bumi, dengan abadinya keberjarakan yang ditakdirkan pada mereka, mestinya telah redam bara yang ia punya. Terendam oleh air matanya sendiri. Seperti Qais yang cintanya tak pernah sampai pada Laila, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menangis. Lalu gila, sebelum akhirnya mati dalam keterpurukan yang hina.

Ya, tak pernah ada cinta nyata yang seperti untuk Gray dari Juvia dalam realita. Bahkan dalam romansa film 5cm/sec atau manga bokura ga ita, dimana mereka saling suka, dengan membangun kekuatan momen indah bersama, yang dikira mampu selalu menjanji masa, sekali lagi jarak mengalahkan keduanya, terpisah tanpa daya.

Kau tahu sebuah cerita di era arab lama? Pangeran putra mahkota dari Baginda Raja Harun Al-Rasyid pernah jatuh sakit, sekarat, dan hampir mati. Seluruh tabib di negeri itu dipanggil, bahkan dari semua negara tetangga, sayang tak semua dari tabib itu tahu apa nama penyakitnya dan cara mengobatinya. Apa kau tahu apa sakitnya itu? Itu adalah cinta. Ia menahan rasa cinta pada seorang wanita dari golongan rakyat biasa, karena takut Ayahandanya tak merestui mereka. Sama seperti kisah putri amazon lilly sebelum Hancock, ia mati karena jatuh hati. Tak mampu bertemu karena sang kekasih pria mati ketika berlayar pergi.

Begitulah cinta, kadang dengan jumlahnya yang begitu besar, namun tak tersampaikan, mampu membawanya pada rasa sakit bak kematian.

Apakah harus selalu begitu, benturan antara rasa dengan realitas rindu, yang beda rupa dan kasta akan selalu berakhir mencipta luka?
Menjauh untuk menjaga. Lagi, kudengar dan kubaca untuk yang kesekian kali.
Kukira cinta itu buta, mati rasa, juga tuli, tak pernah mau mengerti situasi. Bohong jika mereka berkata cinta tak harus bersama. Dusta saat mengaku bahwa melihat senyum terpasang yang bukan karenanya adalah bahagia. Bualan bahwa rela melepaskan adalah pembuktian cinta yang terdalam sebenarnya.

Cinta itu egois, yang selalu ingin untuk bersatu. Cinta itu bengis, yang selalu memaksa supaya bersama. Semua kebahagiaan harus diraih berdua atas nama cinta.

Adakah seorang Ibu rela menitipkan anaknya pada orang lain yang lebih kaya dan mapan berpendidikan agar sang anak tersebut bahagia? Yang meskipun dengan segala daya dan upaya takkan mampu menyamai atau mendekati kemampuan mereka (orang lain itu) dalam membahagiakan? Kuyakin tidak. Padahal cinta dan kasih sayang Ibu adalah yang terbaik sepanjang masa. Ia bahkan takkan rela menjauh dan melepas dengan ikhlas kepergian anaknya.

Cinta, seburuk atau sejahat apapun, ia yang kau cinta, pasti akan termaafkan. Sekali lagi seperti seorang Ibu yang bahkan melahirkan anak terdurhaka, takkan pernah mampu untuk membencinya. Ia pasti akan berusaha, dengan segala cara untuk merubahnya menjadi lebih baik. Minimal mau untuk menghargai hanya pada dirinya.

Sampai pada baris tulisanku yang kesekian ini, aku masih belum bisa menerima konsep itu. Seperti konsep ‘rela menunggu atau rela melepas atau rela menjauh untuk kebahagiaan’. Bukankah mencintai dan menerima untuk dicintai berarti kalian sudah bersumpah berani untuk menerima hal terburuk dari sisi lain yang belum diketahui nanti? Jika tidak, jangan pernah mencinta atau menerima cinta! Hati bukan tempat untuk mencari dan bermain-main menempa cinta! Lagi-lagi, entahlah. Aku frustasi. Barangkali karena aku terlalu merindukanmu, hingga aku tak rela menunggu. Terlebih lagi, membuatmu menunggu.


Tapi, lama aku mematut diri, untuk saat ini, aku ingin menjadi bagian dari doamu saja, tapi semua tetap pergi, juga kamu. Kesalahanku adalah tak pernah merasa bahwa untukku kau tak pernah punya cinta. Aku tersadar tapi aku bahagia. Ya aku bahagia. Inilah melepaskan, sebenar-benar melepaskan, mungkin saja.

Kesalahanku, tak pernah mencintai selain dirimu. Aku pernah merengek bak bayi yang meminta tolong ajari aku agar semangatku tak berlipat saat tahu mimpiku masih kau ingat, atau beritahu aku rahasia agar aku tak menangis ketika teringat kamu pernah memukul semua semangatku. Ajari aku untuk tidak tersenyum saat teringat setap jengkal kenangan kita bersama, atau beritahu aku rahasia agar aku tak bersedih ketika sadar bahwa kenangan itu tak boleh pernah ada. Ajari aku untuk tahu diri, atau beritahu aku rahasia agar bisa bertahan berpura-pura.

Kesalahanku, isi do'aku tak pernah selain namamu, hingga Ia cemburu. Sungguh lalu aku tak berhenti berdo'a untuk sebuah kerelaan ini, sungguh aku tak pernah lelah berharap saja hanya pada sang pemilik hati, sungguh aku bahkan telah memangkas semua harapan yang pernah terjadi, sungguh aku telah berupaya untuk tahu diri.

Kesalahanku, tak pernah memprediksi bahwa kau mungkin bisa pergi. Haruskah aku tulis sebuah sajak sebagai penanda dramatis bahwa cerita tentang keterpisahan ini akan pernah ada? Haruskah ada puisi atau elegi yang mendayu-dayu sebagai prasasti yang kelak akan kita kenang dan tangisi, bahwa dulu kamu dan aku pernah mengalami tragedi perpisahan disini?

Kesalahanku, menjadikanmu alasan dari semua rindu. Kusadari seringkali kita menangisi dan mengenang orang yang pergi, namun disaat yang sama kita sulit menerima dan menghargai orang yang datang, atau bahkan yang sedang bersama kita. Seorang Guru mengaji yang aku hormati pernah menasehati:
"Genggam erat orang yang engkau cintai. Ungkapkan rasa cintamu pada mereka. Maafkanlah setiap kesalahan mereka, karena boleh jadi suatu hari nanti engkau atau mereka pergi sementara di dalam hati ada cerita dan rindu pada mereka. Diskusikan, perbaiki, jelaskan, dan akui setiap salah. Hidup ini sangat pendek, tak layak dilalui dengan dengki dan hasad. Esok kita akan menjadi kenangan saja, kematian tak akan meminta izin, karena itu~ tersenyumlah~ dan maafkan semua yang pernah menyakitimu. Dengan begitu hilanglah semua beban hatimu."
Munkin karena itu, kini aku tak lagi berharap padamu, seperti itu, ya~ tiba-tiba saja begitu, juga setelah terlewat sekian banyak sujud panjang pada sajadah 1/3 malamku.

Ada yang bilang bahwa waktu itu takkan berlalu, dan aku takkan pernah bisa lepas darimu, karena apa yang telah kita lewati bersama dulu. Dulu, ya mungkin dulu, aku berpikir demikian, aku tak bisa rasanya, aku tak sanggup tanpamu, tak bisa lepas darimu. Tapi, kini, aku menyanggupi melakukan semua yang kurasa tak mampu tentang semua hal tanpamu. Jika diminta untuk meninggalkan, melupakan, menjauh, aku akan berusaha kuat untuk melakukan tanpa keraguan. Seberapapun rasaku pernah ada untukmu, kupilih 'ku sanggupi melepasmu menjemput seseorang yang menjadi takdirmu.

Kelak jika waktu merestui perjumpaan kita, aku yakin sekadar terka pun tak mampu menjawab tanya. Itu urusan-Nya. Aku bahagia seperti ini. Jadi aku yang dulu, lagi. Yang menyimpan rindu diam-diam. Bukan juga padamu. Entah, hati ini adalah rangkaian cerita yang ingin kusembunyikan. Aku kini bahagia. Semoga kamu juga.

Jika nanti kamu menemukan tulisan-tulisan ini, kamu akan tahu semua detail rasa yang pernah ada. Yang kusembunyikan di ruang-ruang ini. Yang tadinya kukunci rapat untuk bersembunyi, tapi tidak lagi, setelah pintamu yang dulu, kini kumengerti.

Hari ini, aku memanggil namamu lagi disini, tapi bukan berarti ingin cerita ini seperti dulu. Kalaupun tentang kita masih berkesempatan menjadi cerita, sudah kubilang, ia akan ada jika hanya disertai keberanian dan tanggung jawab, mengungkap semua rahasia. Bukan lagi tentang untuk apa dan siapa, hanya berani berserah pada aturan dan ketentuan-Nya. Bukankah memilih jalan hidup terberat akan menghasilkan suatu akhir kenangan yang terindah juga?

Ah ya, teman-teman dan keluarga kerap menanyakanmu, sementara aku tak berani sekadar cari tahu tentangmu. Walau hanya sekedar "Apa kabar?" karena mereka sudah tahu banyak tentangmu. Merepotkan bukan? Itu sungguh menganggu.

Kini aku sudah beranjak, sungguh sesungguh-sungguhnya beranjak, beralih ke cinta dalam diam, pada kesendirian, tanpa sentuhan haram, pada kerinduan dalam do'a-do'a malam, demi kesucian cinta yang terpendam. Aku hanya akan merindu pada diamku. Merindu tanpa pernah pamit kepada siapa yang aku rindu. Sekali lagi, bukan juga padanya atau mu, hanya sekedar merindu.


Beberapa temanku mungkin akan membencimu tapi tenang saja, tidak denganku. Bila ada salah satu atau banyak dari mereka yang berbuat jahat padamu itu bukan maumu juga mauku, jadi jangan salahkan mereka ataupun aku. Jadikan saja pelajaran agar kau tidak lagi salah memilih kawan ataupun lawan di masa depan.

Banyak hal yang sebenarnya lebih ingin kusampaikan. tapi mungkin tulisan ini sudah cukup untuk mewakilkan. Kamu pasti akan mengakatan bahwa aku cerewet jika terlalu banyak berkata bukan? Sebenarnya aku hanya ingin membuatmu mengerti, karena aku paham betul kau sulit untuk mengerti, terutama untuk mengerti aku yang sekarang disini, karena dari awal jumpa kita, hatimu tak pernah terbuka dan mecinta, walau hanya sesaat untuk insan ini. Aku tahu. :)

Eto~ tak usah kau hiraukan kicauanku ini jika tak berkenan, aku tak bermaksud untuk kembali. Hanya ingin sekedar memberi, bahwa aku kini sudah ikhlas kita telah terpisah, dan pergi. Seperti kataku dulu padamu, perasaanmu adalah milikmu, persaanku adalah milikku, biarkan tetap seperti itu, cukup hanya diri dan Tuhan yang tahu. Semoga apa yang aku cerita disini mampu menggapaimu, sebagai bentuk terima kasihku, telah hadir dan mendewasakanku. Terima kasih, dan selamat tinggal~